Regulasi

Bawa Isu Deforestasi ke PBB, Uni Eropa Kelabakan Sendiri 

JAKARTA-Awalnya Uni Eropa dalam pertemuan di sidang Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Environment Assembly/UNEA) Ke-4 di Nairobi, Kenya,  membawa Deforestation and Agricultural Commodity Supply Chains. 

Akan tetapi utusan Uni Eropa ini menjadi kelabakan sendiri, ketika konsep yang mereka ajukan sebagai salah satu resolusi pengelolaan lingkungan karena harus direvisi.

Hal tersebut disampaikan oleh Laksmi Dhewanti, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional.

Dia juga menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Badan PBB untuk Urusan Lingkungan, United Nations Environnment Programme (UNEP) setiap 2 tahun sekali tersebut.

Laksmi menuturkan bahwa judul dari usulan resolusi Uni Eropa adalah Deforestation and Agricultural Commodity Supply Chains, yang menjelaskan latar belakang dan semangat yang mereka bawa dalam draf resolusi tersebut dinilai Laksmi dapat diterima. 

"Setelah kami pelajari dari latar belakangnya kami tidak keberatan karena kami tahu bahwa melindungi hutan, mengurangi deforestasi dan dampak-dampak negatif akibat kegiatan-kegiatan agriculture dan kegiatan lainnya itu memang penting," tuturnya.

Akan tetapi, judul resolusi yang mereka bawa terkesan seperti "menuduh" negara-negara penghasil kelapa sawit tidak peduli dengan isu kehutanan.  Ditambah di dalam draf resolusi tersebut juga sudah spesifik menyebutkan kategori hutan tropis sebagai hutan yang terdeforestasi. 

"Jadi, [judul resolusi tersebut] sudah sangat spesifik dan itu tidak membawa semangat bersama [pertemuan UNEA 4] untuk [secara bersama-sama] mengatasi tantangan [pengelolaan lingkungan]," tuturnya, Kamis, 21 Maret 2019 yang lalu, seperti yang dilaporkan Bisnis.com.

Laksmi memberikan contoh, salah satu cara untuk menggeliatkan isu pengelolaan hutan yang baik adalah dengan cara membangun kerja sama yang positif.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang juga memiliki konsen terhadap isu pengelolaan hutan menyarankan kepada majelis utamanya kepada Uni Eropa agar mengubah konsep dari isu deforestasi menjadi Sustainable Forest Management.

Saran tersebut dinilai jauh lebih positif impact-nya dibandingkan dengan resolusi UE yang langsung menjurus kepada isu deforestasi. "Atau misalnya kolaborasi dan partnership untuk menjaga hutan yang berkelanjutan, jadi kami mendorong kepada upaya yang sifatnya positif ketimbang hanya saling menyalahkan," lanjutnya.

Oleh karena itu selama UNEA ke 4 berjalan, delegasi UE tersebut harus mau merevisi resolusi yang mereka bawa mulai dari segi judul hingga isi draf dari Deforestation and Agricultural Commodity Supply Chains menjadi Sustainable Forest Management.

"Dalam perjalanannya, dalam kurun 2 minggu tersebut kelompok UE sampai mengubah [merevisi] drafnya sampai dua kali, mengubah judul, mengubah draf sehingga waktu yang dibutuhkan untuk negosiasi sangat lama sampai [UNEA 4] selesai akhirnya mereka menarik resolusi tersebut,” ujar Laksmi.

Akan tetapi, Laksmi yang kemarin juga UE terpilih menjadi salah satu Wakil Presiden UNEA 5 dari kelompok Asia Pasifik ini mengatakan ditarik kembalinya usulan UE tersebut tidak berarti mereka kalah, karena persoalan disepakati atau tidaknya resolusi yang dibawa tiap-tiap negara memang membutuhkan waktu yang panjang.(rdh)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar